Sabtu, 16 Maret 2013

Aku, Cinta dan Hujan



            Pipit, begitulah aku disapa. Pagi ini aku berangkat sekolah seperti biasanya. Hari ini hari Kamis, pelajaran hari ini lumayan banyak, membuat tas ranselku mengembung seperti membawa bawaan camping. Kebetulan aku seorang anak kost karena jarak sekolahku yang jauh, rumahku sebenarnya ada di sebuahdesa di lereng gunung Slamet di Jawa Tengah. Aku termasuk beruntung karena sekolahku ini dapat dikatakan unggulan di kabupatenku.
            “Ahh.. capeknya, panas pula!” keluh aku pada sahabatku saat moving class pergantian jam pelajaran.saat itu pukul 10.00 namun panasnya dataran rendah terasa sangat menyengat.
            Istirahat kedua pun tiba, kebijakan di sekolahku adalah istirahat kedua diberi waktu 30 menit. Lapar yang dari tadi aku rasa memaksaku pergi ke kantin sekolah. Bagi kami kantin adalah tempat bertemu teman-teman.
            “Hai, Pit.. hari ini pulang kampung?” Tanya sahabatku, Pindy yang juga berasal dari daerah yang sama denganku.
            “Oh, iya dong pasti, seragam buat besok masih disana soalnya..” Jawabku.
            “Oke, nanti pulang bareng-bareng ya?”
            “Sip” Jawabku mengakhiri percakapan dan mulai memakan soto ayam yang sudah ku pesan.
            Bel bordering menandakan jam pelajaran habis.semua berhamburan keluar kelas dengan urusan mereka masing masing. Termasuk aku, hal pertama yang aku lakukan adalah membuka handphone dan mengirim pesan ke ibuku di rumah.
            Ma, jemput Pipit jam 4 di tempat biasa..
            Hari ini aku harus pulang untuk mengambil seragam hari Jumat (batik) yang aku tinggalkan di rumah. Aku selalu meminta dijemput karena aku lelah naik angkutan lagi, tapi itu kalu memang ada yang bersedia menjemputku. Dari sekolah aku harus 3 kali gonta-ganti angkutan untuk sampai di rumahku
            Pukul 14.30 aku baru keluar dari sekolah. Agak ngulur karena kami selalu bersama-sama dengan anak gunung lainnya, jadi kami harus saling menunggu, ada yang ke kost terlebih dahulu, ada yang makan siang, ada yang menyelesaikan tugas, dan sebagainya.
            Aku dengan kelima sahabatku, Pindy, Tria, Bella, Novi, dan Era menunggu angkutan pertama kami di depan sekolah untuk menuju ke tempat angkutan kedua. Angkutan kedua inilah yang memakan waktu paling lama. Selain kami harus menunggu datangnya minibus jurusan Bumijawa – Slawi – Tegal, jarak dari tempat ini ke tempat transitku yang ketiga sangat jauh, jalan yang menanjak dan berkelak-kelok, memerlukan waktu hampir 1,5 jam.
            Aku paling senang duduk di sebelah jendela, selain aku akan mendapat semilir angina dari minibus yang melaju, aku juga bias memndang langit dan pemandangan hutan serta sawah-sawah yang memanjang. Aku melihat awan hitam di atas gunung.
            “Di gunung awannya hitam, apa mungkin disana hujan ya?” tanyaku kepada Pindy.
            “Di gunung setiap hari sedang hujan terus, mungkin hari ini juga hujan..” jawabnya.
            “hmm.. semoga hari ini ngga hujan” sahutku sambil meneruskan melihat keluar jendela.
            Entah kenapa langit selalu bias membuat hatiku damai dan tenang, walaupun di tengah kebisingan dan keramaian penumpang yang berdesak-desakan diatas sebuah minibus ini tak terasa sudah setengah jalan.
            “rrrrrtttt” handphoneku bergetar. Ternyata pesan dari ibuku.
            Disini hujan deras. Mama mungkin telat jemputnya, nunggu reda.
            Huh, benar juga tebakanku, disana hujan. Memang benar di perjalanan mulai gerimis, dan semakin deras bahkan makin lama disertai petir. Setelah melewati perjalana lama dan menakutkan karena gelap dan petir salaing menyambar, aku dan Pindy sampai di tempat transitku yang terakhir hanya kami berdua yang turun disini. Kami langsung turun dan berlari menghindari hujan dan berteduh di depan sebuah took kelontong, menunggu jemputan masing-masing.
            Tidak lama kemudian Pindy ternyata sudah dijemput ibunya dengan memakan jas hujan. Jarak rumahnya dan rumahku memang terpaut cukup jauh. Sekarang tinggal aku sendirian duduk di depan took. Udara dingin pegunungan disertai hujan deras, angina dan petir. Aku yang tidak membawa jaket karena memang di sekolah panas sekali. Lengkap sudah! Cepat-cepat aku mengirim pesan kepada ibiku.
            Ma, cepet. Pipit sendirian..
            Ibuku membalas.
            Iya.. ini lg mau kstu.
            Leganya aku setelah membaca pesan itu. Aku tetap duduk termangu sendiri, aku tidak berani membuka handphone karena sambaran kilat dimana-mana sahut-menyahut.
            10 menit berlalu, tapi ibuku belum juga datang. Sepatuku menjadi basah terkena cipratan air dari genting. Membuatku menggigil kedinginan. Aku menggerutu dalam hati tentang ibuku yang tidak memperhatikanku! Tak bisakah dia ngebut sedikit? Harusnya dia mengerti aku sendirian dan kedinginan!
            “Mama.. cepeet!” keluhku dalam hati.
            15 menit kemudian  terdengar klakson sepeda motor yang sepertinya tertuju padaku. Benar saja, itu ibuku memakai helm dan jas hujan yang basah kuyup. Alhamdulillah dia datang..
            “Kenapa lama sekali?” tanyaku agak membentak.
            “Di jalan banjir! Banyak sawah longsor! Jadi mama pelan-pelan jalannya soalnya benyak kerikil!” suara ibuku sedikit teriak karena bersaing dengan suara hujan.
            Aku hanya mengangguk dengan kedua tangan menyilang di depan dada masih menggigil dingin.
            “Ini mama bawakan jas hujan”, mama mengulurkan jas hujan dan lengsung menyuruhku memakainya.
            “Ma, sepatunya basah”, rengek aku.
            “Ini taruh di plastik, nanti di bawa di depan” ternyata ibuku sudah membawa plastik tidak terlalu besar tapi cukup untuk membungkus sepatuku yang dari tadi sudah basah.
            “Udah? Pakai yang rapat jas hujannya!” seru ibuku.
            Dipakaikannya helm di kepalaku. Setelah itu aku masukkan sepatuku kedalam plastik tadi ibuku membawanya di depan jok motor, di antara kakinya.
            “Ayo naik!” seru ibuku. Samar-samar kudengar karena aku memakai helm dan bebarengan dengan nyala mesin motor.
            “Iya..” aku menjawab.
            Awalnya perjalanan biasa saja, hanya sesekali aku dikagetkan dengan kilatan petir yang serasa di depan mataku. Aku lansung mengucap istighfar.
            Benar yang dikatakan ibuku, sepanjang jalan air dimana-mana, menjadikan laju sepeda motor kami berkurang. Sesekali ibu berteriak.
            “Pegangan!!”
Aku tidak menjawab, hanya aku mempererat pegangan untuk tanda bahwa aku mendengar.
Sepanjang jalan aku terus memandang langit yang gelap. Sawah-sawah yang basah karena hujan yang belum juga reda, padi-padi yang tumbang akibat terjangan angina, serta pemandangan kilat yan memanjang diikuti suara menggelegarnya.
            Aku langsung memejamkan mata dan memeluk ibuku, dingin menusuk tulang. Ibuku terus memperhatikan jalan, sesekali kakinya turun menjaga keseimbangan motor kami.
            Aku tau dia tidak sedang merasa hangat, bayangkan aku saja yang dibelakang merasa dingin setengah mati, dia ibuku, di depan terkena angin dan hujan, 2 kali perjalanan pula.
Sampai di rumah kami langsung berganti pakaian yang basah kuyup. Setelah itu aku membuatkan the hangat untuk ibuku, ibu juga sudah memasak makanan kesukaanku karena memang hari Kamis aku selalu pulang.
            “Mama terimakasih..”, dalam hatiku.
            Aku sangat mencintai ibuku.. ibuku yang selalu ada untukku. Aku sangat mencintainya, di bawah siraman hujan, aku tetap mencintai ibuku..
                                                                        ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar