Pipit, begitulah aku disapa. Pagi ini aku berangkat
sekolah seperti biasanya. Hari ini hari Kamis, pelajaran hari ini lumayan
banyak, membuat tas ranselku mengembung seperti membawa bawaan camping. Kebetulan aku seorang anak
kost karena jarak sekolahku yang jauh, rumahku sebenarnya ada di sebuahdesa di
lereng gunung Slamet di Jawa Tengah. Aku termasuk beruntung karena sekolahku
ini dapat dikatakan unggulan di kabupatenku.
“Ahh.. capeknya, panas pula!” keluh aku pada sahabatku
saat moving class pergantian jam
pelajaran.saat itu pukul 10.00 namun panasnya dataran rendah terasa sangat
menyengat.
Istirahat kedua pun tiba, kebijakan di sekolahku adalah
istirahat kedua diberi waktu 30 menit. Lapar yang dari tadi aku rasa memaksaku
pergi ke kantin sekolah. Bagi kami kantin adalah tempat bertemu teman-teman.
“Hai, Pit.. hari ini pulang kampung?” Tanya sahabatku,
Pindy yang juga berasal dari daerah yang sama denganku.
“Oh, iya dong pasti, seragam buat besok masih disana
soalnya..” Jawabku.
“Oke, nanti pulang bareng-bareng ya?”
“Sip” Jawabku mengakhiri percakapan dan mulai memakan
soto ayam yang sudah ku pesan.
Bel bordering menandakan jam pelajaran habis.semua
berhamburan keluar kelas dengan urusan mereka masing masing. Termasuk aku, hal
pertama yang aku lakukan adalah membuka handphone dan mengirim pesan ke ibuku
di rumah.
Ma, jemput Pipit
jam 4 di tempat biasa..
Hari ini aku harus pulang untuk mengambil seragam hari
Jumat (batik) yang aku tinggalkan di rumah. Aku selalu meminta dijemput karena
aku lelah naik angkutan lagi, tapi itu kalu memang ada yang bersedia
menjemputku. Dari sekolah aku harus 3 kali gonta-ganti angkutan untuk sampai di
rumahku
Pukul 14.30 aku baru keluar dari sekolah. Agak ngulur karena kami selalu bersama-sama
dengan anak gunung lainnya, jadi kami harus saling menunggu, ada yang ke kost
terlebih dahulu, ada yang makan siang, ada yang menyelesaikan tugas, dan
sebagainya.
Aku dengan kelima sahabatku, Pindy, Tria, Bella, Novi,
dan Era menunggu angkutan pertama kami di depan sekolah untuk menuju ke tempat
angkutan kedua. Angkutan kedua inilah yang memakan waktu paling lama. Selain
kami harus menunggu datangnya minibus jurusan Bumijawa – Slawi – Tegal, jarak
dari tempat ini ke tempat transitku yang ketiga sangat jauh, jalan yang menanjak
dan berkelak-kelok, memerlukan waktu hampir 1,5 jam.
Aku paling senang duduk di sebelah jendela, selain aku
akan mendapat semilir angina dari minibus yang melaju, aku juga bias memndang
langit dan pemandangan hutan serta sawah-sawah yang memanjang. Aku melihat awan
hitam di atas gunung.
“Di gunung awannya hitam, apa mungkin disana hujan ya?”
tanyaku kepada Pindy.
“Di gunung setiap hari sedang hujan terus, mungkin hari
ini juga hujan..” jawabnya.
“hmm.. semoga hari ini ngga hujan” sahutku sambil
meneruskan melihat keluar jendela.
Entah kenapa langit selalu bias membuat hatiku damai dan
tenang, walaupun di tengah kebisingan dan keramaian penumpang yang
berdesak-desakan diatas sebuah minibus ini tak terasa sudah setengah jalan.
“rrrrrtttt” handphoneku bergetar. Ternyata pesan dari
ibuku.
Disini hujan deras.
Mama mungkin telat jemputnya, nunggu reda.
Huh, benar juga tebakanku, disana hujan. Memang benar di
perjalanan mulai gerimis, dan semakin deras bahkan makin lama disertai petir.
Setelah melewati perjalana lama dan menakutkan karena gelap dan petir salaing
menyambar, aku dan Pindy sampai di tempat transitku yang terakhir hanya kami
berdua yang turun disini. Kami langsung turun dan berlari menghindari hujan dan
berteduh di depan sebuah took kelontong, menunggu jemputan masing-masing.
Tidak lama kemudian Pindy ternyata sudah dijemput ibunya
dengan memakan jas hujan. Jarak rumahnya dan rumahku memang terpaut cukup jauh.
Sekarang tinggal aku sendirian duduk di depan took. Udara dingin pegunungan
disertai hujan deras, angina dan petir. Aku yang tidak membawa jaket karena
memang di sekolah panas sekali. Lengkap sudah! Cepat-cepat aku mengirim pesan
kepada ibiku.
Ma, cepet. Pipit
sendirian..
Ibuku membalas.
Iya.. ini lg mau
kstu.
Leganya aku
setelah membaca pesan itu. Aku tetap duduk termangu sendiri, aku tidak berani
membuka handphone karena sambaran kilat dimana-mana sahut-menyahut.
10 menit berlalu, tapi ibuku belum juga datang. Sepatuku
menjadi basah terkena cipratan air dari genting. Membuatku menggigil
kedinginan. Aku menggerutu dalam hati tentang ibuku yang tidak memperhatikanku!
Tak bisakah dia ngebut sedikit? Harusnya dia mengerti aku sendirian dan
kedinginan!
“Mama.. cepeet!” keluhku dalam hati.
15 menit kemudian
terdengar klakson sepeda motor yang sepertinya tertuju padaku. Benar
saja, itu ibuku memakai helm dan jas hujan yang basah kuyup. Alhamdulillah dia
datang..
“Kenapa lama sekali?” tanyaku agak membentak.
“Di jalan banjir! Banyak sawah longsor! Jadi mama
pelan-pelan jalannya soalnya benyak kerikil!” suara ibuku sedikit teriak karena
bersaing dengan suara hujan.
Aku hanya mengangguk dengan kedua tangan menyilang di
depan dada masih menggigil dingin.
“Ini mama bawakan jas hujan”, mama mengulurkan jas hujan
dan lengsung menyuruhku memakainya.
“Ma, sepatunya basah”, rengek aku.
“Ini taruh di plastik, nanti di bawa di depan” ternyata
ibuku sudah membawa plastik tidak terlalu besar tapi cukup untuk membungkus
sepatuku yang dari tadi sudah basah.
“Udah? Pakai yang rapat jas hujannya!” seru ibuku.
Dipakaikannya helm di kepalaku. Setelah itu aku masukkan
sepatuku kedalam plastik tadi ibuku membawanya di depan jok motor, di antara
kakinya.
“Ayo naik!” seru ibuku. Samar-samar kudengar karena aku
memakai helm dan bebarengan dengan nyala mesin motor.
“Iya..” aku menjawab.
Awalnya perjalanan biasa saja, hanya sesekali aku
dikagetkan dengan kilatan petir yang serasa di depan mataku. Aku lansung
mengucap istighfar.
Benar yang dikatakan ibuku, sepanjang jalan air
dimana-mana, menjadikan laju sepeda motor kami berkurang. Sesekali ibu
berteriak.
“Pegangan!!”
Aku tidak menjawab,
hanya aku mempererat pegangan untuk tanda bahwa aku mendengar.
Sepanjang jalan aku
terus memandang langit yang gelap. Sawah-sawah yang basah karena hujan yang
belum juga reda, padi-padi yang tumbang akibat terjangan angina, serta
pemandangan kilat yan memanjang diikuti suara menggelegarnya.
Aku langsung memejamkan mata dan memeluk ibuku, dingin
menusuk tulang. Ibuku terus memperhatikan jalan, sesekali kakinya turun menjaga
keseimbangan motor kami.
Aku tau dia tidak sedang merasa hangat, bayangkan aku
saja yang dibelakang merasa dingin setengah mati, dia ibuku, di depan terkena angin
dan hujan, 2 kali perjalanan pula.
Sampai
di rumah kami langsung berganti pakaian yang basah kuyup. Setelah itu aku
membuatkan the hangat untuk ibuku, ibu juga sudah memasak makanan kesukaanku
karena memang hari Kamis aku selalu pulang.
“Mama terimakasih..”, dalam hatiku.
Aku sangat mencintai ibuku.. ibuku yang selalu ada
untukku. Aku sangat mencintainya, di bawah siraman hujan, aku tetap mencintai
ibuku..
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar